Komisi E DPRD Jatim Mendorong Penggabungan Perda
Komisi E DPRD Jatim Mendorong Penggabungan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak
Komisi E DPRD Jawa Timur mendorong agar proses persetujuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Pelindungan Perempuan dan Anak dapat dilakukan dengan cepat.
Tindakan ini diambil sebagai reaksi terhadap masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur, serta kebutuhan untuk memperbarui regulasi agar lebih sesuai dengan kondisi sosial dan tantangan saat ini, terutama di era digital.
Anggota Komisi E DPRD Jatim Puguh Wiji Pamungkas,yang juga menjadi juru bicara dalam Nota Penjelasan Komisi E, mengatakan, berdasarkan data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur masih sangat memprihatinkan.
“Pada 2023, terdapat 972 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kejadian kekerasan terhadap anak. Meskipun pada 2024 jumlahnya menurun menjadi 771 dan 1.103 kejadian, bentuk kekerasan seksual tetap mendominasi,” ungkapnya dalam Rapat Paripurna DPRD Jatim, Senin (23/6).
Selain kekerasan seksual, Puguh juga menyoroti masalah tingginya angka perkawinan anak di Jawa Timur. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama, terdapat lonjakan jumlah dispensasi kawin yang signifikan pada 2020 menjadi 17.214 kasus setelah batas usia minimal menikah yang diubah dari 16 menjadi 19 tahun. Meskipun angka tersebut mengalami penurunan hingga 8.753 kasus pada 2024, angka ini tetap menunjukkan perlunya tindakan serius dari pemerintah daerah.
Di samping itu, kemajuan teknologi juga menghadirkan tantangan baru dalam perlindungan anak. Menurut penelitian Disrupting Harm 2022, 41% anak dan remaja di Indonesia menyembunyikan usia mereka saat berselancar di internet, yang membuat mereka lebih rentan terhadap predator digital dan tindakan kekerasan seksual online. Survei U-Report pada 2019 juga menunjukkan bahwa 45% responden berusia 14-24 tahun pernah mengalami perundungan siber.
“Anak-anak dan remaja kita adalah pengguna aktif platform digital. Hal ini membuka peluang besar, tetapi juga menghadirkan risiko yang tidak boleh dianggap remeh. Raperda ini diperlukan untuk mengatur perlindungan dalam ruang digital,” jelas Puguh.
Puguh menegaskan, regulasi yang ada saat ini, seperti Perda Nomor 16 Tahun 2012 dan Perda Nomor 2 Tahun 2014, sudah tidak mencukupi lagi dan perlu digantikan dengan satu regulasi yang terpadu. Penggabungan kedua perda ini dinilai akan menghasilkan sistem perlindungan yang lebih komprehensif, efisien, dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial serta teknologi.
Raperda yang diusulkan akan mencakup berbagai aspek penting, seperti tanggung jawab dan wewenang pemerintah daerah, perencanaan dan pelaksanaan perlindungan, kelembagaan, sistem informasi, kerjasama antar daerah, partisipasi masyarakat, serta pembinaan dan pengawasan. Penguatan koordinasi antar lembaga juga menjadi salah satu titik utama yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas perlindungan.
“Perlindungan bagi perempuan dan anak tidak hanya penting saat terjadi kekerasan, tapi juga harus meliputi langkah pencegahan dan pemulihan. Korban memerlukan layanan yang terpadu secara fisik, psikologis, dan sosial,” tegasnya.
Raperda ini juga disusun dengan berlandaskan pada berbagai regulasi nasional terbaru, termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2025 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Pelindungan Perempuan dan Anak.
Dengan adanya regulasi baru yang mengintegrasikan perlindungan perempuan dan anak dalam satu kerangka hukum, diharapkan proses penanganan, pencegahan, dan pemulihan dapat dilakukan dengan lebih cepat, akurat, dan menyeluruh di Provinsi Jawa Timur.
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Blegur Prijanggono menyatakan, pandangan dan rekomendasi dari Komisi E mengenai raperda ini mencerminkan komitmen legislasi dalam menanggapi kebutuhan nyata masyarakat di level akar rumput.
“Pandangan dari Komisi E DPRD Jatim ini akan memberikan kontribusi yang positif untuk dijadikan referensi dalam pembuatan peraturan dan pengembangan Jawa Timur yang lebih inklusif,” kata Blegur saat Rapat Paripurna DPRD Jatim.
Raperda ini dibuat berdasarkan penilaian terhadap dua peraturan sebelumnya, yaitu Perda Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak yang Mengalami Kekerasan, serta Perda Nomor 2 Tahun 2014 mengenai Sistem Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Keduanya dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, kondisi sosial, dan dinamika kasus yang terjadi di lapangan.
sumberkominfojtim
Komentar