Tekor, Pengusaha Pelayaran Terancam Bangkrut

Tekor, Pengusaha Pelayaran Terancam Bangkrut Kapal Ferry melintas (Pixabay).

SURABAYA-Pengusaha jasa transportasi penyeberangan (ferry) mengeluhkan banyaknya regulasi dan beban pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Akibatnya iklim usaha penyeberangan saat ini suram tidak kondusif.

"Ada kebijakan Menteri Perhubungan untuk menggenjot PNBP, akibatnya banyak item pungutan PNBP bermunculan di pelabuhan. PNBP Kementerian Perhubungan naik pesat, tapi pengeluaran biaya-biaya pelabuhan kami menjadi meningkat," kata Pemilik operator pelayaran ferry PT Dharma Lautan Utama, Bambang Haryo Soekartono, di Surabaya, Rabu (02/10).

Sementara, sambung dia, kapal besar membutuhkan kru lebih banyak.

"BBM dan biaya perawatannya juga lebih besar, biaya-biaya pelabuhannya juga lebih mahal. Pada sisi lain, penumpang hanya ramai saat peak hours atau waktu-waktu sibuk saja. Bahkan disparitasnya cukup tinggi," keluhnya.

Mantan anggota DPR RI ini membandingkan dengan transportasi udara yang dinilainya lebih fleksibel.  

"Kalau transportasi udara dapat menggunakan narrow body bila penumpang jauh dari load factor. Atau penggabungan dua jadwal keberangkatan, nah kalau di transportasi penyeberangan kan nggak bisa seperti itu," jelasnya.

Masih kata Bambang, saat ini jumlah dermaga di sejumlah daerah masih minim, termasuk Merak-Bakauheni, sehingga hanya dapat menampung sekitar 30 persen jumlah kapal.

Kondisi demikian, lanjut Bambang, merugikan perusahaan pelayaran.

"Karena harus tetap menanggung biaya tetap (fixed cost) kapal yang cukup besar sekitar 60 persen dari total biaya sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dermaga yang cukup agar semua kapal bisa dioperasikan," ungkapnya. 

Bambang mengingatkan jasa transportasi penyeberangan itu selain berfungsi sebagai infrastruktur seperti alat angkut dan jembatan.

"Kalau infrastruktur berarti kan ada kewajiban pemerintah untuk membiayainya dengan cara ada insentif-insentif yang diberikan untuk angkutan penyeberangan, jadi bukan malah diberikan biaya-biaya yang lebih dari angkutan darat. Contohnya, jalan raya, biaya perawatannya ditanggung pemerintah," terangnya.

Bambang lantas mencontohkan Filipina dan Thailand yang memberlakukan tarif jasa angkutan penyeberangan Rp3.500-Rp4.500/mil/penumpang. 

"Nah, kita hanya Rp700/mil/penumpang. Berat sekali, sehingga jumlah pendapatan perusahaan pelayaran sulit untuk menutup biaya kenyamanan dan keselamatan yang ada," tutupnya. (Ant)