"Kuliah Bersama Rakyat" Tolak Pabrik Semen Kendeng

Foto Universitas Jember

Jember - Dukungan untuk menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah mengalir dari berbagai pihak, tak terkecuali dari Mahasiswa Universitas Jember (Unej), Jawa Timur.

Universitas Jember melalui Centre for Human Rights, Migration and Multiculturalism (CHRM2) memberikan dukungannya terhadap masyarakat Rembang dengan menyelenggarakan "Kuliah Bersama Rakyat" dengan tema "Negara Hukum, Kemanusiaan, dan Ekologi" di Fakultas Hukum Unej di Jember, Kamis (15/11).

"Kuliah kali ini kami adakan agar dapat memberikan wawasan dan perspektif yang berbeda kepada mahasiswa Unej, sehingga mereka dapat mengetahui secara langsung bagaimana duduk permasalahan yang ada dari para narasumber yang hadir," kata Direktur CHRM2 Unej Al-Khanif.

Menurutnya, kasus pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, masih menjadi polemik yang belum menemukan titik temu hingga saat ini, bahkan berbagai aksi digelar oleh warga untuk memperjuangkan kelestarian kawasan Pegunungan Kendeng.

Dalam kuliah bersama rakyat tersebut juga dihadirkan Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendengan (JMPPK), Gunretno dan Ketua Paguyuban Petani Jawa Timur, Yateno.

Menurut Gunretno, pentingnya pemahaman mengenai fungsi suatu kawasan perlu disebarluaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat, seperti fungsi kawasan karst di Pegunungan Kendeng karena karst yang selama ini dianggap panas dan gersang ternyata memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan.

"Masyarakat termasuk para pemangku kepentingan perlu mengetahui fungsi kawasan karst agar mereka menjadi cinta terhadap kelestarian lingkungan," ujarnya.

Karst yang selama ini dianggap hanya gundukan batu panas dan gersang justru memiliki fungsi sebagai penyimpan cadangan air ketika musim hujan dan dimana satu kubiknya dapat menyimpan cadangan air sebanyak 200 liter.

"Berbagai aksi terus kami perjuangkan demi menjaga kelestarian kawasan Pegunungan Kendeng hingga akhirnya muncul KLHS dari presiden. Namun kajian tersebut nyatanya masih belum dapat terealisasi dengan baik di lapangan dan seharusnya tetap ada pengawalan, agar keputusan presiden tersebut dapat berjalan dengan baik," terangnya.

Yateno menambahkan, selama ini program CSR dari beberapa perusahaan tidak memberikan dampak positif yang bisa dirasakan masyarakat, bahkan masyarakat terkait justru tidak dilibatkan dengan baik untuk beberapa proses seperti penyusunan amdal.

"Di sinilah kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan untuk dapat tegas terhadap para investor atau pemangku kepentingan karena seringkali ketika penyusunan amdal, masyarakat yang merasakan dampak langsung hanya dijadikan legitimasi," pungkasnya.