Pemerintah-DPR Dinilai Tak Serius Dukung Pemberantasan Korupsi

Pemerintah-DPR Dinilai Tak Serius Dukung Pemberantasan Korupsi Presiden Jokowi saat menerima Pansel calon Pimpinan KPK yang dipimpin Yenti Ganarsih di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17-06)/Foto: Humas Setkab.

KUPANG-Pemerintah dan DPR dinilai tidak serius mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas praktik korupsi di Tanah Air.

"Mengamputasi sejumlah kewenangan penting KPK dalam membongkar kasus-kasus korupsi melalui revisi UU KPK, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)," kata pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Karolus Kopong Medan MHum mengutip Antara, Jumat (06/09).

Hal ini disampaikannya menanggapi pernyataan Ketua KPK Agus Raharjo yang menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya berada di ujung tanduk.

"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Bukan tanpa sebab, semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," kata Agus saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (05/09).

Hal seperti ini, kata dia, akan membuat kerja KPK ke depan terbelenggu dan sangat mudah diganggu oleh berbagai pihak, karena DPR dalam sidang paripurnanya, Kamis (05/09) juga menyetujui revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR.

Kopong Medan mengatakan, apabila rencana revisi UU KPK dengan mengamputasi sejumlah kewenangan KPK seperti mengekang indepedensi dan membatasi kewenangan melakukan penyadapan, jelas akan membuat KPK tidak berdaya dalam menghadapi gelombang korupsi yang terus menghantui bangsa Indonesia.

Ada sembilan persoalan di draf RUU KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK, yakni: independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Kopong Medan mengatakan sangat ironis, karena langkah pembatasan kewenangan KPK itu justru dilakukan oleh pemerintah dan para legislator di saat masyarakat, bangsa dan negara ini sedang dihantui oleh praktik-praktik korupsi yang semakin menggurita.

Oleh karena itu, yang semestinya dilakukan oleh pemerintah para legislator adalah berusaha dengan memperkuat cara-cara yang luar bisa yang digunakan oleh KPK untuk menghadapi korupsi sebagai kejahatan luar biasa ini.

"Jika kewenangan KPK berhasil diamputasi, maka saya yakin kita akan bergerak mundur jauh ke belakang, dan jaringan korupsi yang selama ini sudah mulai tiarap dan kelimpungan menghadapi jebakan-jebakan KPK akan kembali berpesta pora menikmati hasil korupsi," tutup Kopong Medan.