Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tomsi Tohir menekankan pentingnya peran kepala daerah dan kepala dinas di daerah untuk merancang formulasi solusi konkret dalam mengendalikan kenaikan harga bahan pokok yang berkontribusi terhadap inflasi daerah.
Tomsi mengungkapkan, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat sejumlah komoditas pangan yang masih sulit dikendalikan oleh pemerintah daerah, di antaranya cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah.
Hal tersebut disampaikan Tomsi dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang dirangkaikan dengan pembahasan evaluasi dukungan pemerintah daerah dalam Program 3 Juta Rumah. Kegiatan ini digelar secara hybrid dari Gedung Sasana Bhakti Praja (SBP), Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Tomsi merinci, pada minggu kedua Desember, terdapat 272 daerah yang mengalami kenaikan harga cabai rawit. Kenaikan tertinggi tercatat di Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Takalar, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, serta Kabupaten Nganjuk.
Sementara itu, untuk komoditas bawang merah, terdapat 266 daerah yang mengalami kenaikan harga pada periode yang sama. Kenaikan tertinggi terjadi di Kabupaten Nias, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Simalungun.
Adapun pada komoditas cabai merah, kenaikan harga terjadi di 301 daerah. Daerah dengan kenaikan tertinggi meliputi Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Jeneponto.
Selain tiga komoditas tersebut, Tomsi juga mengingatkan kepala daerah dan dinas pertanian agar memberi perhatian pada komoditas lain yang berpotensi memicu inflasi, seperti telur ayam ras, bawang putih, dan minyak goreng.
“Teman-teman kepala daerah dan kepala dinas pertanian di daerah, mohon kenaikan harga yang sudah tinggi ini benar-benar diupayakan untuk diturunkan. Lihat cabai merah naik sampai 76 persen harganya. Oleh karena itu, tolong diupayakan semaksimal mungkin agar masyarakat tidak menanggung kenaikan harga yang terlalu tinggi,” tegas Tomsi.
Tomsi memahami bahwa perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim hujan kerap dijadikan alasan sulitnya pengendalian harga komoditas hortikultura. Namun, menurutnya, pola musim di Indonesia yang relatif konsisten seharusnya dapat diantisipasi melalui perencanaan yang matang.
“Pada dasarnya musim di Indonesia itu dua dan berulang. Seharusnya kepala daerah sudah bisa membuat rencana. Kalau musim hujan apa yang harus dilakukan, kalau musim kemarau apa yang harus dilakukan. Jangan pasrah,” ujarnya.
Ia menilai, pemerintah daerah setidaknya dapat mempelajari pola pertanian dan fluktuasi harga pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan ketelatenan dan perencanaan yang baik, kenaikan harga pangan dapat ditekan agar tidak melonjak signifikan.
“Jadi mohon kenaikan yang terlampau tinggi ini dipikirkan jalan keluarnya,” kata Tomsi.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan atau month-to-month (mtm) pada November sebesar 0,17 persen. Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi tercatat 2,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Salah satu komponen yang menyumbang inflasi November adalah emas dengan andil 0,71 persen. Selain itu, komoditas yang dominan memicu inflasi di berbagai daerah antara lain cabai merah, beras, dan daging ayam ras. Sementara komponen yang diatur pemerintah dan turut menyumbang inflasi meliputi tarif air minum PAM serta sigaret kretek mesin (SKM).
Oleh karena itu, Tomsi menegaskan meskipun inflasi masih dalam kategori terkendali, pemerintah daerah tetap harus menyiapkan skenario antisipatif terhadap potensi kenaikan inflasi yang tercermin dari Indeks Perkembangan Harga (IPH).
Data BPS menunjukkan adanya penambahan jumlah daerah yang mengalami peningkatan IPH, dari 299 daerah pada minggu pertama Desember menjadi 308 daerah pada minggu kedua Desember.
“Saya harap kepala daerah dan kepala dinas, yang rata-rata berlatar belakang insinyur pertanian, menjadikan ini sebagai perhatian serius dan fokus pada solusi,” tutur Tomsi.