Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim Soroti Krisis Sampah
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim Soroti Krisis Sampah: Pemprov Dinilai Belum Visioner
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur menyoroti persoalan pengelolaan sampah di provinsi ini yang dinilai telah memasuki fase darurat, namun belum ditangani secara optimal dan visioner oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, Agus Black Hoe Budianto, kebijakan pengelolaan sampah seperti Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah ada belum dijalankan secara terukur dan progresif. Sementara itu, volume sampah di Jatim terus meningkat setiap hari.
“Setiap hari, Jawa Timur memproduksi sekitar 31.000 hingga 33.000 ton sampah. Tapi belum ada lompatan kebijakan dari Pemprov yang benar-benar progresif. Kita masih berkutat pada metode lama seperti open dumping dan sanitary landfill yang jelas tidak berkelanjutan,” ungkap Agus Black Hoe di Surabaya, Kamis (7/8/2025).
Ia menilai, krisis sampah terutama jenis sampah rumah tangga dan sampah industri, telah mengancam kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) di berbagai daerah. Surabaya sendiri menyumbang sekitar 1.400–1.600 ton sampah per hari, sementara TPA di kawasan metropolitan seperti Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo sudah mendekati batas maksimum.
Tidak hanya di kota besar, peningkatan volume sampah juga terjadi di wilayah Mataraman dan Tapal Kuda akibat pertumbuhan pemukiman yang pesat.
“Kalau tidak segera diambil langkah integratif, jangan salahkan masyarakat kalau sampah akhirnya menumpuk di pinggir jalan. Ini bukan semata urusan teknis, tapi soal visi dan keberanian mengubah sistem,” tegas politisi asal Ngawi itu.
Desak Implementasi Perda dan Penggunaan Teknologi Modern
Agus mendorong Pemprov Jatim untuk segera menerapkan Perda Nomor 9 Tahun 2022 dan Pergub Nomor 93 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sampah Regional agar penanganan sampah bisa dilakukan secara terintegrasi antarwilayah, terutama di kawasan padat seperti Surabaya Raya, Malang Raya, Mataraman, dan Tapal Kuda.
Ia juga mengkritik lambannya implementasi teknologi modern seperti Refuse Derived Fuel (RDF) dan Waste to Energy (WtE) yang hingga kini masih belum berjalan.
“Pemprov seharusnya berani mendorong skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan fasilitas PLTSa atau WtE, terutama di daerah padat penduduk. Jangan hanya bergantung pada APBD yang terbatas,” ujarnya.
Agus juga menyoroti keterbatasan kapasitas TPA di sejumlah kabupaten/kota. Menurutnya, Pemprov harus ikut bertanggung jawab dalam penambahan TPA, khususnya di daerah yang memiliki keterbatasan anggaran seperti Ngawi dan Ponorogo.
Pemilahan Sampah dan Edukasi Masyarakat
Selain soal regulasi dan infrastruktur, Agus menekankan pentingnya edukasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Ia menilai tingkat pemilahan sampah dari sumbernya masih sangat rendah dan perlu segera dibenahi.
“Kita perlu pendekatan multi-level: mulai dari rumah tangga, RT-RW, desa, hingga kota. Kalau mau serius, berikan insentif kepada warga yang memilah sampah. Ini bukan hanya soal teknis, tapi juga perubahan budaya,” tegasnya.
Ia juga mendorong penguatan bank sampah, pengembangan ekosistem karbon trading, serta pengadaan insinerator skala kecil di tingkat desa dan kelurahan sebagai solusi jangka menengah.
Krisis Sampah Jadi Ancaman Serius
Di akhir pernyataannya, Agus mengingatkan bahwa krisis sampah bukan hanya isu lingkungan, tapi juga berdampak pada kesehatan publik, ekonomi sirkular, serta citra peradaban daerah.
Ia menyoroti pasal dalam Pergub 93/2023, khususnya Pasal 19, yang mengatur pemberian kompensasi bagi masyarakat terdampak dari pengelolaan sampah, baik di TPPAS Regional maupun TPST Regional.
“Apa gunanya Perda dan Pergub jika tidak dijalankan? Kami minta Pemprov Jatim benar-benar konsisten dan serius dalam menyelesaikan masalah sampah ini,” pungkasnya.
Sumber: pdiperjuangan-jatim.com/
Komentar