Refleksi Harkodia: Korupsi Menjangkit, Negara Korban Terhimpit

Refleksi Harkodia: Korupsi Menjangkit, Negara Korban Terhimpit Ilustrasi kampanye antikorupsi/Pixabay.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dari hulu sampai ke hilir. Hal itu disampaikan Presiden dalam Peringatan Hari Anti-Korupsi Sedunia (Hakordia) pada Rabu (16/12).

“Pemberantasan korupsi tidak boleh padam,” ujar Presiden dalam sambutannya pada Peringatan Hakordia, secara virtual, dari Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12) pagi.

Senada dengan Presiden Jokowi, Direktur Jenderal Adminstrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Cahyo R. Muzhar, menilai Hari Anti-Korupsi Internasional merupakan momentum baik untuk meningkatkan komitmen antikorupsi  karena merupakan kejahatan luar biasa, tidak bermoral, dan mencederai kepercayaan masyarakat.

“Hari Anti-Korupsi Internasional merupakan momentum baik untuk meningkatkan kesadaran seluruh pihak mengenai pentingnya komitmen dan upaya bersama untuk mencegah dan memberantas korupsi baik di tingkat nasional maupun internasional,” tutur Cahyo, di Jakarta belum lama ini.

Cahyo menilai, hak negara korban dalam kasus suap terhadap pejabat asing (bribery of foreign officials) harus dipenuhi. Kasus penyuapan pejabat asing, lanjutnya, sering terjadi dan sangat memengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pengadaan barang dan jasa, sehingga hasil keputusan menjadi tidak objektif dan merugikan negara.

“Kasus skandal suap tersebut juga sangat merugikan Indonesia dan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Skandal suap tersebut telah mendorong pengambilan keputusan yang tidak tepat dan merugikan dalam proses pengadaan pesawat,” kata Cahyo.

Hakordia yang diperingati setiap 9 Desember muncul semenjak berlakunya Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 31 Oktober 2003. Penetapan 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Sedunia dilakukan dalam sidang tersebut seiring meningkatnya kesadaran akan bahaya korupsi.

Tindakan korupsi menjadi fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang menimbulkan kerugian di berbagai sektor. PBB mencatat korupsi merupakan kejahatan serius yang dapat melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi di semua lapisan masyarakat. 

Menilik catatan PBB, kerugian yang ditimbulkan akibat kejahatan korupsi tidak bisa dibilang kecil, sekitar US$2,6 triliun lenyap setiap tahunnya akibat korupsi atau setara dengan 5% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global. 

Angka itu terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan laporan Corruption Perception Index yang dikeluarkan oleh Transparency International, penyuapan menjadi salah satu bentuk korupsi yang paling sering terjadi dan sangat merugikan.

Di Afrika, lebih dari US$50 miliar hilang setiap tahunnya, sebagian besar disebabkan penyuapan yang nyatanya tidak sebatas dilakukan oleh elite pemerintah dan masyarakat negara setempat. Tindak suap juga dilakukan secara lintas negara. 

Dari laporan yang sama menyebutkan, korporasi dan kontraktor asing menyuap pejabat di Afrika. Kasus di Nigeria, para pejabat disuap oleh kontraktor asing dari Inggris dan Italia sebesar US$1,1 miliar agar bersedia melepas akses ke ladang minyak yang disinyalir bernilai US$500 miliar. Perusahaan ban Amerika, Goodyear juga menyuap pejabat Kenya dan Angola sekitar US$3,2 juta untuk memenangkan kontrak.

Mekanisme DPA

Kasus serupa juga terjadi saat perusahaan raksasa Airbus yang terbukti menyuap pejabat di sejumlah negara sekaligus menjadi salah satu skandal terbesar belakangan ini. Peristiwa ini melibatkan maskapai penerbangan di banyak negara/yurisdiksi, di antaranya Indonesia, Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan. Dalam kasus ini, Airbus telah mengakui perbuatan suap tersebut dan diwajibkan membayar penalti sejumlah €991 juta kepada Serious Fraud Office (SFO) Inggris melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA).

DPA merupakan konsep perjanjian penangguhan penuntutan dalam perkara pidana. Mekanisme ini telah lazim digunakan di sejumlah negara penganut sistem hukum common law seperti Inggris dan Amerika Serikat. Tujuan DPA ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan korporasi tertentu melalui penalti keuangan yang cukup signifikan.

DPA ini merupakan salah satu treatment penyelesaian perkara tindak pidana di sektor bisnis dengan menggunakan pendekatan analisis ekonomi. Namun, sejumlah kesepakatan DPA ini seringkali belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan sebagaimana halnya DPA Airbus dengan SFO Inggris yang belum memperhitungkan peran negara-negara korban yang membantu penyidikan SFO hingga berhasil menguak skandal ini.

Menurut penulis buku Deferred Prosecution Agreement Dalam Kejahataan Bisnis, Asep Nana Mulyana, pengertian sederhana dari DPA adalah kewenangan yang ada pada Jaksa untuk melakukan penuntutan, namun sepakat untuk tidak melakukan penuntutan dengan berbagai syarat dan kriteria tertentu.

Di Inggris, DPA mulai berlaku pada 24 Februari 2014 dan diperkenalkan melalui Section 45 dan Schedule 17 dari Crime and Courts Act 2013 (CCA 2013). Pada saat itu DPA diperkenalkan dengan tujuan: “to provide prosecutors with an extra tool to tackle economic crime in England and Wales which currently too often goes without redress.”

DPA sebelumnya juga sudah diterapkan pada beberapa kasus di Inggris, yaitu Tesco PLC pada 2014, Standard Bank (ICBC Standard Bank PLC) pada 2015, Perusahaan XYZ Limited pada 11 Juli 2016, dan Rolls-Royce PLC pada 17 Januari 2017.

Sejumlah kasus

Namun, sejauh ini baru ditemukan satu kasus yang mempertimbangkan hak negara korban atas kompensasi, yaitu kasus skandal suap di Tanzania yang dilakukan Standard Bank Afrika Selatan, perusahaan berbasis di London. Dalam kasus ini, Tanzania sebagai korban mendapatkan kompensasi atas proses investigasi SFO Inggris melalui proses DPA. Total denda yang dibayarkan sebesar US$6 juta kepada pemerintah Tanzania, ditambah bunga lebih dari US$1 juta, dan £330.000 untuk biaya ke SFO.

Sementara itu, kasus lainnya belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban. Seperti, kasus suap dari Rolls–Royce yang menghasilkan perjanjian penangguhan penuntutan (DPA) pada awal 2017. Kasus tersebut terjadi di perusahaan maskapai di Indonesia, Thailand, India, Rusia, Nigeria, China dan Malaysia. Rolls Royce pun sudah membayar denda sebesar £671 juta atas perilaku korupsi yang mencakup tiga dekade, tujuh yurisdiksi, dan tiga bisnis kepada SFO.

Demikian juga dengan kasus pemalsuan laba Tesco Stores Ltd. yang diselidiki oleh SFO pada 2014 lalu. Dalam kasus itu, Tesco setuju untuk membayar denda £129 juta dan biaya investigasi £3 juta kepada SFO. Kemudian, penyelesaian dengan DPA pada kasus korupsi dan pelanggaran suap karyawan XYZ Ltd yang diselesaikan dengan membayar perintah keuangan sebesar £6,553,085, terdiri dari pencairan laba kotor sebesar £6,201,085 dan hukuman finansial sebesar £352,000. 

Dari kasus tersebut, pemberian kompensasi kepada negara korban dalam mekanisme DPA masih dikesampingkan. Padahal, dalam DPA Code of Practice pada bagian Terms, diidentifikasi bahwa langkah-langkah untuk mengembalikan ganti rugi bagi korban sangat dikedepankan oleh SFO, seperti pembayaran kompensasi. 

Pembayaran kompensasi korban dalam kasus korupsi atau suap terdapat dalam pasal-pasal pada DPA, di mana perseroan (pelaku) memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi kepada negara korban, mengembalikan setiap keuntungan dari tindak pidana korupsi, membayar biaya perkara termasuk jaksa, dan perusahaan harus ikut ambil bagian dalam proses investigasi. 

Jika menelisik United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Konvensi juga mewajibkan negara pihak untuk memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk penyuapan. UNCAC adalah Konvensi PBB Anti-Korupsi yang merupakan instrumen antikorupsi internasional pertama yang mengikat secara hukum. 

Sementara itu, dalam kasus penyuapan Airbus yang diselesaikan dengan mekanisme DPA, sejumlah negara korban mempertanyakan kompensasi tersebut. Salah satunya, Transparency International Sri Lanka yang mempertanyakan kelanjutan dari investigasi kepada SFO Inggris terkait kasus suap Airbus karena tidak memasukkan kompensasi kepada negara-negara korban lainnya sebagai bagian dari persyaratan DPA yang dibuat dengan Airbus. 

Dalam surat yang telah dikirimkan oleh Transparency International Sri Lanka, seperti dikutip newsfirst.lk, Sri Lanka meminta kompensasi untuk negara korban penyuapan di luar Inggris. Surat itu menyebut korupsi telah menimbulkan kerugian ekonomi yang serius bagi negara korban. Airbus terungkap telah menyuap direktur dan karyawan maskapai SriLankan Airlines (SriLankan) sebesar US$16,84 juta melalui perusahaan milik istri mantan CEO SriLankan Kapila Chandrasena, Priyanka Niyomali Wijenayaka di Brunei.