Alpukat Soe Lebih Berkualitas dari Australia

Alpukat Soe Lebih Berkualitas dari Australia Petani alpukat daerah tertinggal Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

JAKARTA-Produk daerah tertinggal di wilayah Indonesia Timur dikenal berkuliatas dan melimpah. Potensi memasarkan ke daerah lain pun cukup besar sehingga bisa menguntungkan ekonomi masyarakat setempat.

Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, misalnya, memiliki produk ikan asin alami dan melimpah, hasil produksi masyarakat setempat.

Termasuk Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, dengan buah alpukatnya yang dikenal paling enak di Indonesia.

Namun, harga jualnya belum berdampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat daerah tertinggal setempat, sehingga perlu intervensi agar produk mereka naik kelas.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Ditjen PDT), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, mempertajam strategi agar produk di dua daerah tersebut mampu mendongkrak ekonomi masyarakat daerah tertinggal.

"Ini yang sedang saya jalani. Bagaimana produk Kepulauan Aru masuk ke Jakarta atau Bali. Bagaimana caranya membawa. Ini menjadi isu yang terus diselesaikan," kata Dirjen PDT, Samsul Widodo, dalam keterangannya yang diterima Rabu (11/12).

Menurut Samsul, ikan asin di Kepulauan Aru diproduksi secara alami. Namun harganya tergolong murah, di kisaran Rp75 ribu per kilogram, karena market belum menyentuh daerah tersebut.

"Pasti tidak pakai formalin. Pelagis, ikan terbang itu, dibelah, dibersihin, lalu dijemur. Harganya di sana Rp75 ribu, di Jakarta Rp150 ribu. Tapi market tidak ada di daerah tertinggal," jelas Samsul.

Makanya, sambung Samsul, Ditjen PDT membantu masyarakat di daerah tertinggal supaya produk mereka bisa dijual, tidak hanya fokus pada penyediaan alat produksi.

"Misalnya, kami ajarkan kepada pengepul ikan asin di sini. Pertemukan dengan teman-teman pemda di Indonesia Timur. Itu tidak pernah dilakukan dulu," terang Samsul.

Sedangkan alpukat Soe, kata Samsul, hanya seharga Rp2 ribu di tangan petani setempat. Padahal kualitasnya lebih bagus dari alpukat Australia yang dijual di mal-mal Jakarta, seharga Rp200 ribu per kilogram.

"Ini butuh kerja keras meyakinkan pemda dan pemangku kebijakan dengan memberi tahu prospeknya. Mengajak mereka ke supermarket untuk melihat secara real harga produk," paparnya.

Untuk itu, Ditjen PDT menggandeng Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perhubungan untuk terus memetakan potensi, kualitas komoditas dan cara pengiriman produk dari daerah tertinggal.