Aktivis Lingkungan: Kami Tak Izinkan Pemindahan Ibu Kota

Aktivis Lingkungan: Kami Tak Izinkan Pemindahan Ibu Kota Presiden Jokowi di Sidang DPR dan DPD 2018 di Gedung MPR/DPR Senayan/Foto: Kemensetneg.

JAKARTA-Keputusan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur dinilai terburu-buru karena tidak diikuti dengan kajian ilmiah pendukung.

Untuk itu aktivis lingkungan menegaskan tidak mengizinkan pemindahan ibu kota tersebut.

“Kalau kemarin Jokowi minta izin untuk memindahkan Ibu Kota, maka jawabannya kami tidak izinkan. Ide itu tidak dilandasi oleh kajian ilmiah makanya rencana pemindahan ibu kota jelas serampangan. Proses komunikasi antara Presiden dan pembantunya soal telah diputuskannya provinsi calon ibu kota lalu diralat, dapat menunjukkan rencana ini jauh dari pembicaraan yang mendalam dan tidak solid,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jurubicara Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam siaran pers bersama (KIARA, JATAM, WALHI) yang diterima jatimpos.id, Senin (26/08).

Jatam juga mempertanyakan dasar keputusan pemindahan yang tak dilakukan melalui jajak pendapat.

"Tidak ditanyakan dulu kepada warga. Hak warga untuk menyampaikan pendapat jelas diingkari dan bisa disebut sebagai ‘kediktatoran’ Presiden karena suara warga Kalimantan Timur termasuk suara masyarakat adatnya tidak diberi ruang,” ujar Merah Johansyah menambahkan.

JATAM memperkirakan pemindahan ibu kota tersebut hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur.

BACA JUGA:

Jokowi Putuskan Ibu Kota Pindah ke Kaltim

Harus Hati-hati Pindahkan Ibu Kota

Pemindahan Ibu Kota Bukan Solusi

Pemerintah Putuskan Ibu Kota Pindah

Data JATAM Kaltim menyebut keseluruhan di Kaltim terdapat 1.190 IUP dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan.

Masyarakat pesisir

Senada disampaikan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bahwa pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di Teluk Balikpapan.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat setidaknya lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan dari Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan.

"Selain menjadi jalur lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara, Teluk Balikpapan akan dijadikan satu-satunya jalur logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota baru," ujar Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.

Susan menambahkan, Provinsi Kalimantan Timur belum memiliki Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pengesahan Perda selanjutnya, akan menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota baru.

"Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Timur tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir, khususnya di sekitar Teluk Balikpapan, tetapi untuk pembangunan Ibu Kota Baru dan kepentingan industri batu bara," jelasnya.

Beban lingkungan

Sementara Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI menyabut seluruh wilayah provinsi sudah tersandera konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan. Sisanya adalah hutan lindung. 

Menurut catatan JATAM terdapat 13,83 juta hektar izin dan 5,2 juta diantaranya adalah izin pertambangan, jika ditambahkan dengan luasan izin lainnya maka izinnya lebih besar dari daratan Provinsi Kalimantan Timur itu sendiri.

“Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai Presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya,” kata Zenzi.