LSM Antikorupsi Beberkan 3 Masalah BPJS Kesehatan

LSM Antikorupsi Beberkan 3 Masalah BPJS Kesehatan BPJS Kesehatan.

Malang - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan sejak tahun 2014 didesain agar setiap warga negara memperoleh akses kesehatan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengontrol program JKN.

Akan tetapi, empat tahun setelah diterapkannya program JKN, ternyata masih terdapat permasalahan berupa defisit berkepanjangan sehingga mendesak untuk dibuatnya aturan agar tidak membiayai beberapa penyakit.

Menanggapi hal itu, Malang Corruption Watch (MCW) membeberkan tiga permasalahan BPJS Kesehatan. Pertama, MCW menyorot kepesertaan BPJS Kesehatan yang harus melibatkan seluruh nama yang ada dalam kartu keluarga (KK).

"Namun, bagi peserta kelas I dan II sering telat membayar, hal ini pula yang mengakibatkan terjadinya defisit oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan Bagi peserta kelas III hal ini memberatkan, karena peserta kelas III pendatapatannya dibawah rata-rata perbulan," tulis Badan Pekerja Malang Corruption Watch, Arif Ramadhan dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Minggu (11/11).  

Kondisi ini, lanjut dia, juga ditambah dengan banyaknya perusahaan yang belum berkerjasama dengan BPJS Kesehatan. Padahal ini menjadi penting agar pekerja penerima upah memperoleh jaminan kesehatan

Di sisi lain, perusahaan yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan malah memotong gaji pekerja untuk diberikan jaminan kesehatan. Sedangkan dalam aturannya perusahaan memiliki kewajiban membiayai segala jaminan untuk pekerja.

Berikutnya adalah masalah defisit dana BPJS Kesehatan yang berdampak pada pembiayaan penyelenggara kesehatan.

Dia menjelaskan, pembiayaan yang dikenal dengan INA-CBG’s adalah cara BPJS Kesehatan mengontrol biaya berdasarkan penyakit yang diderita oleh peserta untuk dibayarkan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut atau Rumah Sakit.

"Sedangkan untuk puskesmas diberikan dana bulanan yang dikenal dengan Dana Kapitasi. INA-CBG’s khususnya pada rumah sakit swasta menganggap miring kebijakan ini, meskipun dinilai memudahkan biaya sewa dokter," ujar Arif.

Sementara, lanjut Arif, BPJS Kesehatan sering terlambat membayar hak kerja dokter serta masalah biaya obat-obatan ke apotek.

"Kondisi ini akan mengarah pada kebangkrutan rumah sakit, dan BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program JKN tidak mampu memberikan alternatif, yang terlihat menggerutu kepada negara untuk dibantu. Mengharapkan pengelolaan yang sempurna agar realisasi program JKN dapat dirasakan manfaatnya, sedangkan implemetasinya masih bermasalah," terangnya.

Adapun masalah ketiga yang disorot MCW yaitu Dana Kapitasi yang diberikan oleh BPJS Kesehatan kepada pemerintah daerah agar memudahkan pelayanan keseahatan melalui puskesmas untuk warga yang tidak mampu.

"Ternyata Dana Kapitasi ini sering disalahgunakan. Korupsi yang terjadi di Jombang membuka tabir pengolaan Dana Kapitasi oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dana kapitasi dijadikan ladang basah oleh kepala Dinas Kesehatan agar mempertahankan jabatannya dengan memotong dana kapitasi dan diberikan kepada Kepala Daerah," jelasnya.

Padahal, lanjut dia, melalui Dana Kapitasi yang diberikan setiap bulan oleh BPJS Kesehatan kepada pemerintah daerah agar mempermudah masyarakat tidak mampu memperoleh akses kesehatan. 

Dari uraian yang disampaikan diatas, BPJS Kesehatan menutu MCW masih banyak hal yang perlu dibenahi. "Masyarakat menanti hadirnya jaminan kesehatan semesta yang dapat diperoleh setiap kalangan. Rumah sakit tidak ingin telat membayar biaya tugas dokter, maka BPJS Kesehatan harus responsif," pungkasnya.