Buka Muktamar Sastra, Menag Singgung Santapan Madura

Buka Muktamar Sastra, Menag Singgung Santapan Madura Pembukaan Muktamar Sastra di Ponpes Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Rabu (19/12)/Foto: insta-stalker.com

Situbondo - Kalangan sastrawan diingatkan tentang bagaimana sastra pesantren merespons kecenderungan konservatisme di sebagian kalangan Umat Islam.

"Bangsa Indonesia saat ini sedang membutuhkan banyak mengasah rasa. Revolusi digital telah mengubah cara dan perilaku beragama sebagian kita," kata  Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin saat membuka Muktamar Sastra Nusantara, di Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Rabu (19/12).

Ia menyebutkan seharusnya pemahaman keagamaan itu lezat seperti santapan khas di kalangan suku Madura.

"Masakan Madura itu"nyaman ongghu" (sungguh enak). Jadi pemahaman agama itu perlu pengetahuan yang memiliki cita rasa tinggi, bukan pengetahuan hambar yang tidak bergizi," ujarnya.

Menag mengungkapkan ada kegagapan di kalangan sebagian umat ketika memahami agama yang tidak diimbangi dengan nurani dan spiritualitas. Sehingga hal itu menyebabkan seruan agama yang seharusnya menentramkan menjadi menakutkan.

"Agama yang seharusnya santun justru menjadi kegarangan. Masyarakat kita butuh asupan bacaan dan pendidikan agama yang tidak hitam putih dalam penafsirannya," ucap pejabat yang juga pernah nyantri itu.

Menang mengungkapkan sejumlah alasan dirinya mengapresiasi pelaksanaan Muktamar Sastra Nusantara yang digagas Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo KHR Ahmad Azaim Ibrahimy dan didukung Lembaga Ta'lif wa Anta Nashr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Jatim dan TV9 Nusantara itu.

"Saya melihat benang merah sejumlah peristiwa yang menandakan keprihatinan dan kepedulian warga terhadap kebudayaan bangsa kita," katanya.

Pendidikan agama, katanya, dianggap terlalu mengedepankan sisi luar atau eksoteris dan kurang membekali dengan pesan-pesan spiritual atau inti ajaran agama. Pendidikan perlu menggunakan sastra sebagai media pembelajaran.

"Saya yakin karya sastra memiliki karakter sintesis yang mampu menyatukan perbedaan. Sastra juga memiliki watak keleluasaan untuk menyuarakan suara arus bawah melawan ketidakadilan, termasuk korupsi, seperti yang dilakukan oleh Saudara Sosiawan Leak," pungkasnya.